Sunday, 29 March 2020

*Sudahi Polemik Lockdown*


Sudahi Polemik Lockdown

Oleh: Reza Fahlevi (Direktur Eksekutif The Jakarta Institute)

"Kita lawan Covid-19 dengan menyetop segala kegaduhan di sosial media. Dimasa sulit seperti ini yang dibutuhkan adalah energi positif penuh optimisme, saling menguatkan bukannya mencari kambing hitam dan merasa paling benar."

DUNIA maya ramai gonjang-ganjing soal lockdown atau karantina wilayah. Sejumlah daerah—tanpa koordinasi ke pusat—memberlakukan kebijakan lockdown sepihak. Netizen yang didominasi kelompok oposisi, begitu vokal mendesak pemerintah untuk segera menerapkan lockdown atau karantina wilayah.

Pertanyaannya, kenapa sampai detik ini Presiden Joko Widodo masih belum menerapkan lockdown atau mengkarantina sejumlah wilayah yang teridentifikasi sebagai zona merah Covid-19 seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pemerintah tentu sudah mengkaji untung ruginya dengan belajar dari kebijakan di negara lain yang sudah menerapkan lockdown atau karantina wilayah atau hanya memperketat physical distancing seperti di Indonesia.

Kebijakan lockdown seperti di Malaysia, Filippina, Singapura atau Italy belum tentu cocok diterapkan di Indonesia yang warganya banyak berprofesi sebagai pekerja informal.

Banyak yang mendadak jadi peramal dengan memprediksi Indonesia bisa lebih buruk dari Italy jika tidak segera diberlakukan lockdown.

Ada juga yang optimis, Indonesia dengan kebijakan memperketat physical distancing—sebelumnya social distancing—bisa sukses memutus mata rantai penularan covid-19 tanpa harus memberlakukan lockdown. Karena tidak semua kebijakan lockdown ampuh untuk menekan angka penularan.

Buktinya, di India—tak lama diterapkan lockdown total (tidak sampai 1 hari, tepatnya kurang lebih 4 jam)—justru warganya berbondong-bondong eksodus untuk pulang ke kampung halaman yang mengakibatkan terjadi kerumunan antrian di terminal maupun stasiun.

Bisa dibayangkan, sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok (1,339 Miliar-tahun 2017), kepadatan penduduk di India jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.

Namun ada yang bilang, rendahnya kedisiplinan warganya dalam menjalankan aturan physical distancing 11-12 dengan Indonesia.

Masalah pandemic Covid-19 bukan hanya isu nasional apalagi lokal, melainkan sudah menjadi permasalahan global. Banyak pelajaran yang bisa diterapkan di
Indonesia disesuaikan dengan karakter dan sosial budaya masyarakat kita.

Jika ada yang menyebut di Indonesia kurang ada koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, itu salah besar. Dinamika yang terjadi di lapangan, dengan segala emosi, kepanikan dan kondisi darurat di banyak daerah di Indonesia, sehingga ada kebijakan sepihak dari kepala daerah untuk menerapkan lockdown masih dalam koridor yang bisa dimaklumi.

Bagaimana pun, Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya koordinasi dengan Pemerintah Daerah. Salah satunya dengan menerbitkan Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri yang mengarahkan Pemerintah Daerah untuk membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di daerah dengan menunjuk Gubernur, Bupati atau Walikota sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 daerah dan tidak dapat didelegasikan.

Dalam Surat Edaran Mendagri tersebut juga jelas tupoksi Kepala Daerah sebagai Kepala Gugus Tugas di daerah untuk melakukan sejumlah arahan beberapa diantaranya, dalam hal merumuskan kebijakan penanganan dampak penularan Covid-19, Pemerintah Daerah dan Gugus Tugas Daerah tersebut harus melakukan analisa yang matang, mendalam, dan berdasarkan euidence-based untuk memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi yang mungkin muncul di masyarakat serta memastikan keamanan dan keselamatan tenaga penyedia layanan kesehatan sebagai garda terdepan serta memberikan layanan bagi masyarakat sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Kemudian menyiagakan segala bentuk sumberdaya dan fasilitas kesehatan yang dimiliki, antara lain dengan bekerjasama dengan rumah sakit swasta sebagai rujukan penderita COVID-19, menambah ruang isolasi di rumah sakit maupun difasilitas kesehatan dan pendukung lainnya, serta meningkatkan kapasitas

Puskesmas atau layanan kesehatan primer untuk berperan dalam upaya pencegahan dan penanganan COVID- 19. Selain itu juga harus dilakukan refocussing kegiatan untuk menjamin kemudahan pelaksanaan upaya
pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan wabah COVID-l9 di daerah sebagaimana amanat Inpres Nomor 4 Tahun 2O2O tentang Refocussing Kegiatan,
Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Covid-19 sesuai Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2O2O tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Penanganan COVID- 19.

Selama ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga gencar sosialisasi pembatasan sosial (social distancing) yang sekarang berubah menjadi physical distancing, karantina mandiri (self-quarantine) yang melibatkan semua jajaran Pemerintah Daerah, mismarked, dan dunia usaha dengan memperhatikan
protokol-protokol terkait penanganan COVID- 19.

Berbicara masalah kurang koordinasi atau masih tingginya ego sektoral pusat dan daerah juga terjadi di negara besar seperti Amerika Serikat. Contoh paling mutakhir, di negeri Paman Sam, keinginan Presiden Trump yang sudah terlihat panik setelah negaranya menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbesar melampaui Italy dan Tiongkok dengan 123 ribu kasus infeksi juga mengakibatkan silang pendapat antara pusat dan daerah.

Presiden Trump sempat mengeluarkan kebijakan akan menerapkan penutupan akses secara total Kota New York. Namun karena ditentang langsung oleh Gubernur New York, Trump dalam sebuah tweetnya mengatakan telah berkonsultasi dengan gubernur New York, New Jersey dan Connecticut, bahwa dia meminta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk mengeluarkan imbauan pembatasan perjalanan oleh para gubernur tersebut, dengan berkonsultasi bersama pemerintah federal.

Akhirnya Trump mencabut gagasan sebelumnya dengan mengatakan karantina tidak akan diperlukan. Sebelumnya pada Sabtu, Trump mengatakan mempertimbangkan karantina selama dua minggu. Usulan Trump tentang karantina wajib sangat ditentang oleh Gubernur New York Andrew Cuomo, yang mempertanyakan apakah itu legal atau tidak.

Bahkan, Gubernur New York akhirnya mengaku menyesal telah menetapkan lockdown. Karena itu seperti anti Amerika dan telah membuat perekonomian Amerika menjadi ambruk. Karena New York adalah sentrum perekonomian di AS.

Jika ekonomi sudah merosot, sulit untuk memulihkannya hingga berbulan bulan bahkan bertahun-tahun. Keputusan untuk mencabut kembali kebijakan karantina wilayahnya memang berat karena New York merupakan pusat infeksi penularan terbesar di AS.

Karena itu, kebijakan lockdown atau karantina wilayah harus dipertimbangkan dengan matang. Memang menjadi sangat dilematis ketika desakan lockdown mengemuka dari berbagai pihak, dengan harapan bisa memutus mata rantai
penularan Covid-19 dan menekan jumlah korban.

Di situlah dipertaruhkan tanggung jawab seorang pemimpin untuk memutuskan
kebijakan yang terbaik: mata rantai penularan bisa terputus, ekonomi tidak terlalu terdampak. Karena jika ekenomi melemah, multiplier effectnya lebih mengerikan.

Gagasan di tulisan ini sekali lagi saya tekankan dengan tanpa mengurangi rasa kemanusiaan saya yang bukan berarti menganggap nyawa manusia tidak penting karena masih memikirkan ekonomi. Namun yang jelas, pengalaman krisis
moneter 1998 begitu memilukan. Akibat krisis ekonomi, lahir juga krisis multidimensi: kerusuhan, penjarahan dimana-mana, pabrik banyak tutup sehingga banyak yang di-PHK, angka kriminalitas tinggi, kelaparan, kemiskinan meningkat, dan masih banyak lagi kerawanan sosial lainnya yang menjadi dampak ketika ekonomi anjlok.

Untuk itulah, Pemerintah sejak Covid-19 marak di Wuhan, telah
mengantisipasinya dengan merancang sejumlah paket kebijakan ekonomi. Hal itu semata-mata untuk membantu kelompok ekonomi yang rentan—para pekerja informal—dimana mereka menjadi yang paling terdampak harus benar-benar
disiapkan dari segi anggaran apakah itu skema APBN atau APBD.

Yang jelas, di dalam kondisi sulit seperti ini, seluruh pihak harus saling gotong royong, bahu-membahu, tidak ada yang menyalahkan, menghujat, mengkambinghitamkan, apalagi hanya membuat gaduh dengan opini sesat mendesak lockdown namun tidak mencarikan solusi untuk menghadapi masalah
multiplier effectnya dari dimensi ekonomi maupun dimensi kesehatan.

Akhirnya, sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, tentu kita semua berharap badai ini cepat berlalu. Yakinlah, tidak ada pemerintah dari negara apapun yang ingin menjerumuskan apalagi mengorbankan rakyatnya. Pemerintah sudah sekian kali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk mengantisipasi dampak Covid-19. Salah satunya kebijakan Kartu Pra kerja yang
akan dikeluarkan dalam waktu dekat ini. Hal ini merespon dampak Covid-19 atau virus corona pada para pekerja. Pemerintah telah menganggarkan Rp 10 Triliun untuk Program Kartu Pra-Kerja.

Melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, secara resmi Pemerintah telah memperkenalkan Kartu Pra Kerja, Jumat (20/3/2020).

Kartu Pra Kerja ini memang disiapkan baik secara online maupun offline. Khusus yang offline tahap awal ada di 3 kota yaitu di Kepulauan Riau, Bali, Sulawesi Utara dan Surabaya.

Kartu Pra kerja diharapkan dapat membantu tenaga kerja yang
terdampak COVID-19 untuk meningkatkan keterampilan melalui berbagai jenis pelatihan secara daring (online) yang dapat dipilih sesuai minat mereka masing- masing.

Melalui Kartu Pra Kerja, Pemerintah memberikan bantuan biaya pelatihan hingga Rp 7 juta per peserta sekali seumur hidup. Pemerintah akan membayarkan biaya pelatihan itu langsung kepada lembaga pelatihan melalui platform digital.

Kebijakan tersebut telah membuktikan negara hadir dan menjawab kepada kelompok yang masih saja menyebut pemerintah lamban mengantisipasi dampak
Covid-19 dan berat untuk menganggarkan APBN untuk penanganan Covid-19.

Akhirnya, mari bersama-sama kita lawan Covid-19 dengan menyetop segala kegaduhan di sosial media. Di masa sulit seperti ini yang dibutuhkan adalah energi positif penuh optimisme, saling menguatkan bukannya mencari kambing hitam dan merasa paling benar ..