Aparat Desa ‘Keras Kepala’, Warga Lampok Ancam Tutup Paksa Tambang Liar
“Tragedi Salim Kancil Berpotensi Terjadi di KSB”
Brang Ene – Upaya kompromi antara pihak perusahaan pertambangan UD Pinayungan dengan masyarakat Desa Lampok berakhir buntu. Masyarakat harus menelan kekecewaan lantaran Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Lampok, bersikukuh mengizinkan perusahaan tetap melakukan aktifitas tambang meski diduga tanpa izin. Arus penolakan warga ditepis begitu saja oleh aparat desa. Gelagat ini bisa saja mengarah ke arah pergolakan yang tidak perlu terjadi, seperti tragedi Salim Kancil di Lumajang.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Desa (Kades) Lampok Kecamatan Brang Ene, Abdul Latif, menyatakan, aktivitas pertambangan yang dilakukan UD Pinayungan di Desa Lampok telah mendapatkan persetujuan dari beberapa dinas terkait.
“Masyarakat tidak bisa sepihak mencegah aktivitas perusahaan itu. Apalagi mereka (UD Pinayungan, red) sudah mendapat izin rekomendasi dari BPMPPT dan beberapa dinas terkait lainnya,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Lampok, Sutaryadi, dimana kegiatan penambangan perusahaan yang difasilitasi pihak Desa telah memenuhi syarat rekomendasi sesuai aturan. Sehingga masyarakat tidak bisa mempermasalahkan keberadaan perusahaan. Apalagi, retribusi dari perusahaan masuk ke kas Desa sebagai Pendapatan Asli Desa (PADes).
“Jadi menurut kami tidak ada yang salah. Kan mereka juga bayar retribusi ke Desa,” tukasnya.
Sementara itu, Andra (30), salah seorang warga Desa Lampok yang mengaku mengikuti pertemuan belum lama ini, antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Lampok, menyatakan, pemerintah Desa yang seyogyanya adalah wadah penyaluran keluhan warga, malah memposisikan diri sebagai pihak yang bersikeras mempertahankan kegiatan penambangan yang ditengarai ilegal oleh masyarakat.
“Tentu, kami kan masyarakat, seharusnya keluhan kami yang dijadikan dasar dipertahankan atau tidaknya operasional perusahaan itu,” katanya.
Menurut Andra, dengan berbagai dalih, pemerintah Desa Lampok menyatakan perusahaan berhak melakukan proses penambangan pasir di dalam sungai dan produksinya di area hutan. Sehingga dirinya sangat kecewa dengan sikap yang ditunjukkan pemerintah Desa yang lebih mementingkan perusahaan.
“Kami sangat kecewa dengan sikap pemerintah Desa,” cetusnya.
Masih menurut Andra, izin perusahaan untuk melakukan kegiatan penambangan belum diterbitkan dari Provinsi sebagai pihak yang berwenang. Sampai saat ini, aktivitas pertambangan perusahaan pun hanya bermodalkan rekomendasi dari BPMPPT, rekomendasi Amdal dari BLH, dan rekomendasi pemanfaatan hutan dari Dishutbuntan, serta rekomendasi dari ESDM.
“Perusahaan tidak bisa menunjukkan bukti izin yang sah, hanya izin rekomendasi dari beberapa Instansi terkait saja,” terangnya.
Selain izin penambangan yang belum ada, Andra menyoroti tentang surat berita acara persetujuan masyarakat sebelum perusahaan beroperasi yang dianggapnya janggal. Menurutnya, masyarakat tidak pernah diikutkan pihak Pemerintah Desa dalam sosialisasi keberadaan perusahaan yang telah beroperasi sejak 2015 lalu.
“Aktivitas perusahaan sudah berjalan sejak September 2015 lalu, dan masyarakat tidak pernah diikutsertakan di dalam sosialisasinya,” bebernya.
Andra melanjutkan, tidak hanya Izin yang belum dikantongi pihak perusahaan, aktivitas ilegal perusahaan yang disinyalir dilindungi ‘pialang izin’ ini, menimbulkan beberapa dampak lingkungan yang fatal. Diantaranya, pengikisan tanah di seluruh area tambang, pengrusakan jalan, pengambilan badan jalan sebagai lokasi tambang, serta mengancam keselamatan pengendara yang melewati lokasi tambang.
“Iya Mas, kami merasa wilayah kami rusak dengan keberadaan aktivitas pertambangan ini,” kata Andra.
Dengan kondisi tersebut lanjutnya, dirinya bersama masyarakat mengancam akan melakukan upaya penutupan paksa aktivitas perusahaan.
“Tentu, kami dengan masyarakat akan bersama-sama menutup paksa kegiatan penambangan perusahaan itu,” ancamnya.