BILA Anda menonton film Rudy (Habibie & Ainun 2) di sana ada seorang China yang diperankan aktor Ernest Prakasa. Sosok itu memerankan kisah sebenarnya seorang intelektual Indonesia yang merintis dunia penerbangan bersama B.J. Habibie, Lim Keng Kie. Tapi sayang, Lim Keng Kie harus terusir dari negerinya sendiri dan Habibie juga Indonesia, kehilangan untuk selamanya.
Lim Keng Kie, sejatinya sahabat Habibie saat sama-sama sekolah di sebuah SMA di Bandung, Jawa Barat. Persahabatan berlanjut saat kuliah di Institut Teknologi Bandung (dulu masih Universitas Indonesia). Lim Keng Kie yang kemudian berganti nama menjadi Kim Leheru usianya lebih tua dari Habibie.
Lim Keng Kie yang asli Sunda karena logat bahasa Sunda-nya sangat kental, juga yang memicu Habibie kelak untuk belajar ke sebuah universitas bergengsi di Jerman, RWTH-Aachen. Karena Lim Keng Kie inilah, Habibie terbang ke Jerman dengan biaya sendiri karena gagal mendapat beasiswa.
Kisah persahabatan Habibie dan Lim Keng Kie terjalin sampai di Jerman. Lim Keng Kie yang asli Kuningan, Jawa Barat ini, juga menjadi tempat curhat ketika Habibie muda gundah-gulana. Kim yang tenang dan kalem membuat Habibie merasa nyaman.
Dalam buku Rudy, Kisah Muda yang Visioner (Bentang, 2015) diceritakan, Lim Keng Kie juga seolah menjadi 'penasihat' Habibie. Sikapnya yang keras kepala dan merasa paling benar menjadi penghalang Habibie beroleh teman selama di Jerman.
Dan, Lim Keng Kie tidak bosan-bosannya mengingatkan Habibie untuk menekan emosinya dan lebih bersabar. Kata-kata yang membuat Lim Keng Kie tidak nyaman adalah kebiasaan Habibie menuding orang 'bodoh' di depan mukanya. Menurut Lim Keng Kie pernyataan itu membuat malu orang yang ditudingnya.
Yang menarik, Lim Keng Kie juga ternyata bukan hanya penasihat spiritual Habibie tetapi juga penyelamatnya di saat sedang lapar. Beberapa kali, Lim Keng Kie memberikan bantuan dan pinjaman uang ketika kiriman dari Tanah Air tersendat.
Suatu hari, Lim Keng Kie bertemu Habibie dan mengajaknya untuk makan di sebuah restoran. Seperti biasa, Habibie selalu menolaknya.
"Aku puasa Senin-Kamis," kata Habibie.
"Ah, sekarang kan hari Rabu," jawab Lim Keng Kie.
Padahal sebenarnya hanya akal-akalan Habibie karena nggak punya uang untuk bayar makan di restoran.
Lim Keng Kie anak miskin tetapi karena mendapat beasiswa dari pemerintah masih bisa hidup sederhana di luar negeri. Sementara, Habibie dengan biaya sendiri tergantung kiriman biaya dari keluarga di Bandung.
Lim Keng Kie lulus paling duluan dari RWTH-Aachen dan kelak menjadi pendiri Fakultas Teknik Penerbangan di ITB. Sayangnya, Lim Keng Kie tak bisa melanjutkan pengabdiannya di Indonesia.
Karena masalah politik Lim Keng Kie harus terusir dari negeri yang dicintainya. Ini lantaran Lim Keng Kie mengajar di Universitas Trisakti. Kampus yang saat itu didanai Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki ini dituduh Orde Baru sebagai sayap organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Dan, sekuel inilah yang mungkin paling disesali Habibie. Dia tidak bisa menyelamatkan Lim Keng Kie, sahabat sejatinya. Habibie yang saat itu sudah bekerja di Jerman dan tengah mengambil doktor dihubungi Lim Keng Kie. Sahabatnya itu meminta bantuan Habibie untuk mendapat pekerjaan di Jerman lantaran karier dan keselamatannya terancam di dalam negeri.
Situasi yang dialaminya diceritakan kepada Habibie, termasuk soal koleganya di ITB Mas Kamaludin yang sudah ditangkap pemerintah Orba dan dibuang ke Pulau Buru.
Habibie sudah mendapat dua kontak di Jerman untuk Lim Keng Kie dan salah satunya di tempat perusahaan Habibie bekerja. Tapi surat persetujuan untuk Lim Keng Kie dicoret pihak ITB dan itulah masa yang paling gelap dan menyedihkan. Lim Keng Kie untuk menyelamatkan dirinya dan keluarga akhirnya memilih berimigrasi ke Amerika Serikat.
Kelak, ketika Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan Soeharto orang pertama yang diundang secara resmi ke Istana Kepresidenan adalah Lim Keng Kie bersama istrinya, Hilda.
Habibie beberapa kali membujuk Lim Keng Kie untuk pulang ke Indonesia. Namun lantaran memiliki sejarah pernah mengajar di kampus komunis, Lim Keng Kie menolaknya karena khawatir menodai karier Habibie.
Lim Keng Kie, sejatinya sahabat Habibie saat sama-sama sekolah di sebuah SMA di Bandung, Jawa Barat. Persahabatan berlanjut saat kuliah di Institut Teknologi Bandung (dulu masih Universitas Indonesia). Lim Keng Kie yang kemudian berganti nama menjadi Kim Leheru usianya lebih tua dari Habibie.
Lim Keng Kie yang asli Sunda karena logat bahasa Sunda-nya sangat kental, juga yang memicu Habibie kelak untuk belajar ke sebuah universitas bergengsi di Jerman, RWTH-Aachen. Karena Lim Keng Kie inilah, Habibie terbang ke Jerman dengan biaya sendiri karena gagal mendapat beasiswa.
Kisah persahabatan Habibie dan Lim Keng Kie terjalin sampai di Jerman. Lim Keng Kie yang asli Kuningan, Jawa Barat ini, juga menjadi tempat curhat ketika Habibie muda gundah-gulana. Kim yang tenang dan kalem membuat Habibie merasa nyaman.
Dalam buku Rudy, Kisah Muda yang Visioner (Bentang, 2015) diceritakan, Lim Keng Kie juga seolah menjadi 'penasihat' Habibie. Sikapnya yang keras kepala dan merasa paling benar menjadi penghalang Habibie beroleh teman selama di Jerman.
Dan, Lim Keng Kie tidak bosan-bosannya mengingatkan Habibie untuk menekan emosinya dan lebih bersabar. Kata-kata yang membuat Lim Keng Kie tidak nyaman adalah kebiasaan Habibie menuding orang 'bodoh' di depan mukanya. Menurut Lim Keng Kie pernyataan itu membuat malu orang yang ditudingnya.
Yang menarik, Lim Keng Kie juga ternyata bukan hanya penasihat spiritual Habibie tetapi juga penyelamatnya di saat sedang lapar. Beberapa kali, Lim Keng Kie memberikan bantuan dan pinjaman uang ketika kiriman dari Tanah Air tersendat.
Suatu hari, Lim Keng Kie bertemu Habibie dan mengajaknya untuk makan di sebuah restoran. Seperti biasa, Habibie selalu menolaknya.
"Aku puasa Senin-Kamis," kata Habibie.
"Ah, sekarang kan hari Rabu," jawab Lim Keng Kie.
Padahal sebenarnya hanya akal-akalan Habibie karena nggak punya uang untuk bayar makan di restoran.
Lim Keng Kie anak miskin tetapi karena mendapat beasiswa dari pemerintah masih bisa hidup sederhana di luar negeri. Sementara, Habibie dengan biaya sendiri tergantung kiriman biaya dari keluarga di Bandung.
Lim Keng Kie lulus paling duluan dari RWTH-Aachen dan kelak menjadi pendiri Fakultas Teknik Penerbangan di ITB. Sayangnya, Lim Keng Kie tak bisa melanjutkan pengabdiannya di Indonesia.
Karena masalah politik Lim Keng Kie harus terusir dari negeri yang dicintainya. Ini lantaran Lim Keng Kie mengajar di Universitas Trisakti. Kampus yang saat itu didanai Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki ini dituduh Orde Baru sebagai sayap organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Dan, sekuel inilah yang mungkin paling disesali Habibie. Dia tidak bisa menyelamatkan Lim Keng Kie, sahabat sejatinya. Habibie yang saat itu sudah bekerja di Jerman dan tengah mengambil doktor dihubungi Lim Keng Kie. Sahabatnya itu meminta bantuan Habibie untuk mendapat pekerjaan di Jerman lantaran karier dan keselamatannya terancam di dalam negeri.
Situasi yang dialaminya diceritakan kepada Habibie, termasuk soal koleganya di ITB Mas Kamaludin yang sudah ditangkap pemerintah Orba dan dibuang ke Pulau Buru.
Habibie sudah mendapat dua kontak di Jerman untuk Lim Keng Kie dan salah satunya di tempat perusahaan Habibie bekerja. Tapi surat persetujuan untuk Lim Keng Kie dicoret pihak ITB dan itulah masa yang paling gelap dan menyedihkan. Lim Keng Kie untuk menyelamatkan dirinya dan keluarga akhirnya memilih berimigrasi ke Amerika Serikat.
Kelak, ketika Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan Soeharto orang pertama yang diundang secara resmi ke Istana Kepresidenan adalah Lim Keng Kie bersama istrinya, Hilda.
Habibie beberapa kali membujuk Lim Keng Kie untuk pulang ke Indonesia. Namun lantaran memiliki sejarah pernah mengajar di kampus komunis, Lim Keng Kie menolaknya karena khawatir menodai karier Habibie.