Saturday 2 June 2018

Hubungan Dagang Indonesia dan RRC

Lawatan 'Mahal' PM Li dan Ketegasan Jokowi di Depan China
Kalangan pengamat menyatakan Indonesia tidak boleh dikendalikan oleh China terkait lawatan Perdana Menteri Li Keqiang. (REUTERS/Olivia Harris)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi sejumlah pihak, lawatan Perdana Menteri China Li Keqiang ke Indonesia, Senin (7/5), mengisyaratkan kedekatan Beijing dan Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia juga gemar menggaet China untuk mengerjakan sejumlah mega-proyeknya.

Namun sudah lima tahun Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia-China diteken,  sayangnya dari neraca perdagangan saja tampak China yang menangguk keuntungan dari kemitraan tersebut.

Defisit neraca perdagangan Indonesia dari China sejak 2013 terus meningkat dan mencapai puncak pada 2015 dengan jumlah US$14,36 miliar. Pada 2017, defisit neraca perdagangan Indonesia dari China mencapai US$12,72 miliar.


Realisasi investasi China di Indonesia juga tidak besar. China masih kalah dengan sejumlah negara lainnya seperti Singapura dan Jepang. Padahal China pemilik 30 persen cadangan devisa dunia yakni sekitar US$4 triliun.


Produk-produk China pun dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Sebaliknya, produk Indonesia sangat sulit penetrasi pasar ke China. Antara lain buah-buahan seperti salak, mangga, produk perikanan atau sarang burung. 

Perdagangan juga kerap digunakan China untuk menekan negara lain. Hal ini terjadi dengan Filipina. Dimana Beijing melarang impor mangga dari Filipina, saat bertikai dengan negeri itu soal pulau karang di Laut China Selatan.

Sejatinya, kerja sama politik dengan Indonesia pun tidak ada yang konkret. Bahkan China mulai menganggap Indonesia sebagai bagian dari masalah di Laut China Selatan. Wilayah tersebut dianggap sebagai daerah pencarian ikan tradisional mereka. China juga 'kebakaran jenggot' saat Indonesia mengubah nama perairan di sekitar Kepulauan Natuna sebagai Laut Natuna Utara.

Di bidang sosial budaya, Indonesia memberi kemudahan fasilitas visa on arrival bagi para wisatawan China. Namun hal serupa tidak dilakukan China. 

Isu maraknya tenaga kerja asing (TKA) asal Negeri Tirai Bambu di Indonesia turut menjadi perhatian sebagian pihak yang "khawatir" jika pemerintah terlalu mendekat dan terlena dengan China. 


Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai kunjungan Li hari ini adalah lawatan "mahal" bagi relasi kedua negara. Teuku mengatakan Indonesia menganggap China salah satu mitra penting di kawasan, begitu juga sebaliknya China.

"Indonesia di mata China itu penting karena kurs mata uangnya tinggi jika dibandingkan dengan yuan. Secara politik, ekonomi, dan militer China juga menganggap Indonesia penting di kawasan. China menganggap eksistensinya di kawasan tidak berarti tanpa bantuan Indonesia," kata Teuku kepada CNNIndonesia.com, Minggu (7/5).

Di sisi lain, Teuku mengatakan tak dapat dipungkiri lagi jika investasi China juga dibutuhkan Indonesia. Menurutnya, China memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif hingga kemampuan manajemen yang persisten soal invetasi. 

Hal ini, papar Teuku, bisa dimanfaatkan pemerintah lebih baik lagi dalam memaksimalkan kerja sama ekonomi antara kedua negara.

"Indonesia harus akui keunggulan China kalau bicara investasi. Di Afrika, China punya kemampuan manajemen yang luar biasa," ucap Teuku.

Meski begitu, Teuki mewanti-wanti Presiden Joko Widodo jangan sembarangan membuat perjanjian kerja sama dengan China. Dia mengatakan Jokowi harus menunjukkan ketegasan dihadapan China saat bernegosiasi, khususnya saat bertemu dengan PM Li di Istana Bogor nanti.

Teuku mengatakan meski China memiliki keunggulan di atas Indonesia dalam beberapa hal seperti ekonomi, militer, hingga teknologi, kedua negara tetap setara.

"Dan Jokowi harus sensitif, berhati-hati, dan tegaskan diri bahwa jika China mau bekerja sama dengan Indonesia, kita yang kontrol mereka. Pemerintah harus hati-hati, jangan sampai masyarakat umum menyalah-artikan lawatan Li ini seolah-olah bentuk tekanan China kepada Indonesia," kata dia.

Teuku mengambil contoh polemik TKA asal China yang belakangan diperdebatkan. Meski Jakarta membutuhkan dana Beijing, pemerintah harus bisa memastikan China tetap menuruti hukum dan tata cara berbisnis di Indonesia.

"Pemerintah harus meyakinkan China dengan tegas bahwa Indonesia ingin jalin kerja sama dengan mereka, tapi tetap sesuai dengan klausul dan kepentingan kita," ujar Teuku.

Teuku mengatakan meski kerja sama kedua negara kian erat, tak berarti kebijakan Indonesia mulai condong ke China. Kedekatan Beijing-Jakarta, paparnya, juga tak bisa begitu saja diartikan sebagai pro-China.

Menurutnya, penguatan hubungan Beijing dan Jakarta dalam beberapa tahun terakhir merupakan buah dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif serta pragmatis.

"Memang kesannya kedekatan Indonesia-China pesat sekali. Kesannya Indonesia itu jadi pro-China, sebenarnya tidak juga. Sikap Indonesia ini saya rasa masih berbicara dalam kerangka politik luar negeri bebas aktif yang berusaha menyeimbangkan balance of power di kawasan," ujar Teuku.

"Menganggap pemerintah pro-China mungkin terlalu jauh, sebab jika dilihat dari investasi, China masih terhitung lima besar. Masih ada Singapura, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan," kata dia.